Page 89 - Pendidikan IPS : Konstruktivistik da Transformatif
P. 89
NASKAH BUKU BESAR PROFESOR UNIVESITAS TERBUKA
makhluk pribadi, juga sebagai makhluk sosio-kultural yang hidup
80
di dalam suatu dan menjadi anggota masyarakat. Sebagai makhluk
bermasyarakat, mereka menyadari bahwa apapun yang dipikirkan dan
dilakukan harus didasarkan pada kepedulian terhadap realitas dan
masalah yang ada, terjadi, dan dihadapi di dalam masyarakatnya.
Seperti sudah dikemukakan di awal bab ini, konteks adalah situasi
atau lingkungan (psikologis, interpersonal, sosial, kultural, historikal, dan
lain-lain) yang merupakan bagian integral di dalam cara-cara berpikir,
bersikap, dan bertindak subjek terhadap dunianya, serta bagaimana
pikiran, sikap, dan tindakan tersebut harus dibangun, ditafsirkan, dan
dimaknai.
Dengan demikian, “berpikir dalam konteks” (thinking in context)
atau “berpikir kontekstual” (contextual thinking) dimaksudkan sebagai
cara berpikir seseorang terhadap dunianya, serta bagaimana pikiran
tersebut dibangun di dalam konteks tertentu. Pengembangan
kompetensi ini juga sangat cocok bagi siswa jenjang pendidikan dasar,
karena karakteristik penting dari konstruksi pengetahuan alamiah
mereka adalah “a highly contextual” (Kozulin, 1998).
Secara teoretik, para pakar PIPS mengakui bahwa model
perkembangan intelektual Piagetian yang menekankan arti penting
konteks “psikologis” tidak bisa seluruhnya berlaku dan menentukan
pembentukan pengetahuan anak untuk semua situasi dan dan bidang
subjek. Konteks-konteks lain (sosial, interpersonal, sosial, kultural,
historikal, dll) juga diakui sebagai faktor lain yang juga penting di dalam
aktivitas berpikir siswa. Bahwa perubahan-perubahan yang terjadi pada
anak adalah sebagai hasil dari pengaruh banyak faktor, seperti kehidupan
keluarga, kondisi sosial ekonomi, kesehatan, dan juga sekolah.
Seperti juga dalam pemikiran Berger & Luckmann (1966), bahwa
konstruk pengetahuan pada dasarnya adalah “konstuksi sosial tentang
realitas” (the social construction of reality) dalam pemikiran individu
atau kelompok, sebagai hasil interaksi antar individu atau kelompok
dalam suatu “permainan akal manusia” (tricky) tentang fenomena-
fenomena sosial. Proses berpikir itu sendiri adalah “internalizations of
social intercouse, an inner colloquy patterned by early external dialogue”
(Bruner, 1969). Mungkin saja, struktur neural dasar sangat berpengaruh
dalam aktivitas berpikir ketika anak baru dilahirkan. Akan tetapi, dalam
perkembangan lebih lanjut konteks sosial dan kultural tak dapat
dinafikan juga besar pengaruhnya terhadap aktivitas dan produk berpikir
anak. Lebih dari itu, adalah realitas pula bahwa fenomena tersebut tidak
hanya dalam tataran berpikir anak, melainkan pula dalam pembentukan
komitmen-komitmen akademik dan profesional di kalangan ilmuwan.