Page 88 - Pendidikan IPS : Konstruktivistik da Transformatif
P. 88

PENDIDIKAN IPS KONSTRUKTIVISTIK DAN TRANSFORMATIF

              Sejumlah  argumen  mengenai  arti  penting kompetensi  berpikir   79
         kritis-reflektif, dikemukakan oleh para pakar PIPS, karena alasan: sifat
         materi atau masalah yang dipelajari dalam PIPS merupakan “ranah yang
         tak  tersusun  secara  baik”  (ill-structured domains)  (Cornbleth,  1985:29);
         mampu mengembangkan kemampuan mengambil keputusan dan
         pemecahan masalah secara reflektif; melatih kemampuan yang bisa
         mengarahkan kehidupannya; membuat intisari, menganalisis, dan
         mengaplikasikan informasi yang diperoleh sehingga bisa bermanfaat;
         memecahkan masalah secara tepat dan harmonis berdasarkan data-data
         yang diperoleh secara jelas; mengevaluasi data, menghasilkan gagasan-
         gagasan baru, berdasarkan pertimbangan yang matang dan opini yang
         cerdas; kesadaran adanya masalah, mengembangkan hipotesis dan
         mengujinya, dan mengembangkan kesimpulan.
              Pembentukan dan pengembangan kompetensi berpikir kritis-
         reflektif, semakin mendapatkan tempat dan peran di dalam konstruksi
         kurikulum posmodernisme. Pakar yang dianggap sebagai pandega
         kurikulum posmodernisme adalah William E. Doll (MacGregor & Ronald,
         1992).  Gagasan  dasar  Doll  (1995)  tentang  kurikulum  posmodernisme
         dituangkan di dalam tulisannya  “Foundations for a post-Modern
         Curriculum” (Doll, 1989).
              Berkaitan  dengan kompetensi berpikir  kritis-reflektif,  Doll  (1995)
         menegaskan  bahwa  kurikulum  harus  “terbuka”  (openess)  dalam  arti
         “generativity, multiple layers of interpretation, and varied realms of
         meaning”. Untuk mencapai hal tersebut, kurikulum harus “kaya” (richness),
         sarat dengan  masalah, peluang, menantang,  dan mengundang  siswa
         untuk masuk berdialog dengan kurikulum dan juga bekerja dengan
         kurikulum. Dalam konteks ini, kompetensi berpikir kritis-reflektif menjadi
         sangat penting dan mendasar untuk dikembangkan, karena siswa akan
         selalu terlibat dalam proses dan aktivitas “going and going and going and
         going”.

         b.   Kemampuan Berpikir Kontekstual
              Kompetensi ini berkaitan dengan kemampuan siswa untuk
         berpikir dengan mempertimbangkan setiap pemikiran, nilai, sikap, dan
         tindakannya dilihat dari derajat relevansi dan konformitasnya terhadap
         konteks  atau  lingkungan  tempat  dirinya  berada.  Termasuk  nilai,
         norma, dan etika sosial yang diakui, diyakini, dan dijunjung tinggi oleh
         masyarakat setempat, berdasarkan pemahamannya tentang pemikiran,
         nilai, sikap, dan tindakan dirinya dan yang berlaku di dalam masyarakat.
              Seperti ditunjukkan  di  dalam  studi  Farisi  (2005),  bahwa seorang
         siswa memahami dan menyadari benar bahwa dirinya selain sebagai
   83   84   85   86   87   88   89   90   91   92   93