Page 86 - Pendidikan IPS : Konstruktivistik da Transformatif
P. 86

PENDIDIKAN IPS KONSTRUKTIVISTIK DAN TRANSFORMATIF

         memandang bahwa keduanya secara esensial identik dengan berpikir   77
         ilmiah, atau cara berpikir yang lazim digunakan di dalam ilmu sosial,
         yang dalam PIPS juga dikenal sebagai “inkuiri-reflektif” atau “inkuiri
         ilmu-ilmu sosial” (Barr, Barth, & Shermis, 1977; Banks, 1985).
              Apapun  variasi  dalam  pandangan  mereka  tersebut,  ada
         kesepakatan bahwa kompetensi berpikir kritis-reflektif bukan
         sebatas sebagai sebuah “psychological formation”, yang misterius dan
         mekanistis; melainkan bersifat “inter-psychological formation”, bahkan
         juga “sosiological formation”, terbentuk dan berkembang secara sosial
         dan historikal. Juga tidak hanya dipahami sebagai sebuah suatu daftar
         dari sejumlah keterampilan-keterampilan atau komponen-komponen
         mental dan logika semata, melainkan lebih pada pemahaman atas
         karakteristik-karakteristik atau ciri-cirinya.
              Karakteristik pokok dalam berpikir kritis-reflektif adalah: (1) adanya
         keraguan, kebimbangan, atau kesangsian, hasrat untuk mengkaji atau
         meneliti lebih jauh untuk memperoleh fakta-fakta yang jelas yang
         bisa mendukung bukti-bukti yang membenarkan atau menyalahkan
         keyakinan yang ada; (2) kemampuan mengajakan pertanyaan,
         mencari informasi, termasuk bukti dan contoh yang relevan dengan
         pertanyaannya, penalaran, dsb.; (3) adanya sifat atau kualitas pikiran dan
         jiwa yang kritis; dan (4) skeptisisme reflektif.
              Dalam konteks PIPS, pandangan inilah yang banyak digunakan,
         seperti  misalnya oleh Shaver (Cornbelth,1985)  dalam arti  berpikir
         berdasarkan prinsip-prinsip demokratis mengenai harga-diri manusia
         dan persetujuan yang rasional. Sedangkan Cherryholmes dan
         Giroux (Cornbelth,1985) memaknainya sebagai berpikir dengan cara
         mempertanyakan asumsi epistemologis, politis, dan sosial yang bersifat
         populer, maupun keyakinan khusus berikut praktiknya; atau berpikir atas
         dasar pengetahuan tentang fakta, konsep, generalisasi, keterampilan
         dalam proses, kemampuan berpikir dan mengambil keputusan secara
         intelektual; dan kemampuan belajar bagaimana belajar (learning how to
         learn).
              Berdasarkan kriteria  atau  karakteristik  yang  dikemukakan  di
         atas, studi Farisi (2005) juga menunjukkan bahwa siswa SD sudah
         memiliki kemampuan berpikir kritis-reflektif, tetapi pengungkapannya
         masih sangat impulsif, spontan, dan bersifat kongkrit (kelas 1-3); dan
         kemampuan  membuat “hipotesis-hipotesis”  dan “proposisi-proposisi”
         verbal (kelas IV, sekitar 10 tahun). Dalam beberapa aspek, kemampuan
         tersebut  menurut studi Piaget  (Thomas, 1979)  embrionya sudah
         tampak pada anak ketika berusia 12-18 bulan (fase kelima dari tahap
         sensori-motorik) yang dicirikan oleh kemampuan mengaplikasikan
   81   82   83   84   85   86   87   88   89   90   91