Page 81 - Pendidikan IPS : Konstruktivistik da Transformatif
P. 81
NASKAH BUKU BESAR PROFESOR UNIVESITAS TERBUKA
kurikulumnya yang menekankan pada “lifelong roles approach”. Rasional
72
yang mendasari pendekatan tersebut adalah “…that one of the major
purposes of social studies is to help children “become active, knowledgeable,
adaptive human beings, capable of functioning within the range of lifelong
roles to which they aspire” (Schuncke, 1985:28).
Komitmen terhadap urgensi kompetensi partisipasi sosial
tersebut, semakin tegas sejalan dengan penerimaan dan pengakuan
luas terhadap filsafat “rekonstruksionisme” yang menekankan arti
penting dimensi “social criticism”, dan “social participation”. Dalam
konteks PIPS, kelahiran filsafat rekonsruksionisme ini oleh Banks (1984)
dipandang sebagai titik awal bagi terjadinya perubahan transformatif
yang menyeluruh terhadap konstruksi pendidikan PIPS.
Pada tahun 1980an, kompetensi partisipasi sosial kembali
menjadi gagasan sentral di dalam pemikiran kurikulum Superka &
Hawke (Schuncke, 1988) yang dikenal sebagai “a social-roles approach”.
Gagasan mereka oleh para pakar dipandang sebagai dasar pemikiran
“terbaru” waktu itu (tahun 1980an), atau paling komprehensif dalam
pengembangan pemikiran kurikulum PIPS. Komitmen Partisipasi sosial
juga dikemukakan oleh NCSS (1984), Martorella (1985), dan Schuncke
(1988). Di era 1990an, signifikansi pengembangan kompetensi social
dikemukakan Zevin (1992), Sunal & Hass (1993), NCSS (1994), dan
Lindquist (1995), dengan fokus pada keragaman pada sisi substansinya,
juga memberikan penekanan yang sama terhadap arti penting
kompetensi partisipasi sosial untuk siswa , mencakup aspek intelektual
(knowing) hingga partisipasi nyata dalam berbagai peristiwa dan
masalah sosial-kemasyarakatan hingga kebijakan politik (doing).
h. Pemahaman dan Kesadaran atas Keberbedaan dan
Kesederajatan
Kompetensi ini berkaitan dengan kemampuan siswa memahami,
menyadari, bersikap, dan bertindak terhadap orang lain berdasarkan
pengakuan dan penghargaan terhadap keberbedaan dan kesederajatan
dalam hal identitas gender, etnis, dan budaya. Hasil studi Farisi (2005)
menunjukkan bahwa siswa sudah memiliki pamahaman, kesadaran, dan
sikap terhadap identitas gender, etnis, dan budaya. Siswa pun memiliki
sikap-sikap stereotipe gender, terutama ketika relasi dan interaksi sosial
di antara mereka “bermasalah”, tetapi tidak dalam situasi yang normal/
wajar. Mereka pun paham dan sadar bahwa setiap orang dilahirkan
dalam kelompok gender, etnis, dan budaya tertentu yang tidak harus
sama, tetapi mereka tetap sederajat, dan harus saling menghargai satu
sama lain.