Page 80 - Pendidikan IPS : Konstruktivistik da Transformatif
P. 80
PENDIDIKAN IPS KONSTRUKTIVISTIK DAN TRANSFORMATIF
di era 1890an, sehingga dipandang gagal mengapresiasi hakikat anak 71
dengan hanya sedikit memberikan perhatian kepada keterkaitan belajar
dengan dunia pengalaman anak.
Komitmen pada partisipasi sosial tersebut kembali ditegaskan di
dalam rumusan “The Seven Cardinal Principles of Education” dari komisi
“National Education Association” (NEA) tahun 1918, yang salah satunya
adalah prinsip “harmonious self-development” yang dalam interpretasi
Brubacher (1947) tidak lain sebagai reformulasi dari tujuan pendidikan
dalam pemikiran Spencer (Stanley, 1985) “…the aims of education in the
order of their survival value to the individual and to society” atau “complete
living” (h. 328). Prinsip tersebut kemudian digunakan pula sebagai dasar
pemikiran PIPS pada periode-periode awal perkembangannya.
Di dalam dokumen CSS tahun 1913-1916 (Saxe, 1991) kompetensi
partisipasi sosial dimaknai sebagai kemampuan siswa menjadi anggota
kelompok sosial yang konstruktif, yang mampu berpikir secara
kewarganegaraan (to think civically), dan jika mungkin hidup secara
kewarganegaraan (to live civically), aktif dan cerdas dalam bekerjasama
dalam proses pembentukan kewarganebaraan komunitas (community
civics), memiliki loyalitas dan rasa tanggung jawab kepada kotanya,
bangsa, dan negaranya sesuai dengan kapasitas personal yang dimiliki.
Sebagai anggota CSS, Rugg dan Counts (Lybarger, 1991) penggagas
rekonstruksionisme sosial juga menegaskan arti penting “kritisisme
dan partisipasi sosial” sebagai tujuan utama PIPS sebagai program
pendidikan.
Presno & Presno (1966) dalam kurikulum “Man in Action”, juga
memberikan perhatian pada pembentukan dan pengembangan
kompetensi partisipasi sosial. Dalam rasional kurikulumnya, keduanya
berpandangan bahwa “the study of human action” haruslah menjadi
inti PIPS, utamanya dalam hal “…should be encouraged to apply learned
concepts to new situations” dan “able to make rational decisions and
participate actively in a democratic political system” (Stanley, 1985:326).
Kompetensi partisipasi sosial ini semakin mendapat tempat di dalam
PIPS periode 1970an, seperti misalnya yang dapat diungkap dari
pemikiran-pemikiran Simon, Rath, Harmin, dan secara komprehensip
oleh Newmann (Stanley, 1985).
NCSS pada tahun 1979 juga memandang penting kompetensi
partisipasi sosial melalui program-program yang “to provide experiences
whereby students can attain a sense of personal, social, and social
efficacy”, serta “be able and willing to critically assess and help resolve the
important issues facing society” (Bank, 1985: 8). Partisipasi sosial juga
digunakan oleh Joyce & Alleman-Brooks sebagai dasar pengembangan