Page 39 - Pendidikan IPS : Konstruktivistik da Transformatif
P. 39
NASKAH BUKU BESAR PROFESOR UNIVESITAS TERBUKA
“That there exists a dialectical relationship between access to power
30
and the opportunity to legitimate certain dominant categories, and
the process by which the availability of such categories to some groups
enables them to assert power and control over others” (Young, dalam
Lybarger, 1991:9).
“Why did the social studies evolve from a collection of separate courses
into one field? With what purposes did the social studies begin? Whose
purposes were these? What unrecognized and implicit assumptions
were important? What are the meanings of the critical terms of the
field, e.g. citizenship, decision-making, problem-solving, integration,
democracy, and discipline? (Barr & Shermis, dalam Lybarger, 1991:9).
Smith, Palmer, dan Correia (1995) juga berpendapat bahwa
hasil-hasil pengembangan kurikulum dari proyek tahun 1960an
tersebut gagal karena tiga alasan. Pertama, ada kecenderungan
bahwa reformasi kurikulum dilakukan hanya karena tersedia dana
yang memadai, walaupun sesungguhnya tidak ada kebutuhan untuk
melakukan reformasi. Kedua, para guru tidak banyak dilibatkan dalam
pengembangan materinya, sehingga hasilnya tidak merefleksikan
realitas pembelajaran di kelas, tidak mengakomodasi kebutuhan
“kelas besar” yang merupakan kecenderungan di tahun 1970an. Ketiga,
dalam orientasinya kurikulum tersebut bersifat “positivistik”, serta tidak
diorientasikan kepada kebutuhan pendidikan kewarganegaraan.
Selain itu, ternyata pula bahwa teori Bruner yang dijadikan
dasar teoretik tidak mudah diaplikasikan dalam pengembangan
kurikulum PIPS. Joseph J. Schwab (1962) misalnya dalam bukunya “The
Concept of the Structure of a Discipline” menegaskan karena “adanya
perbedaan yang signifikan antara yang nyata dan yang sejati di antara
fenomena-enomena yang berbeda”. Bahwa setiap disiplin ilmu memiliki
karakteristik yang berbeda, sehingga aplikasinya pun tidak mungkin
dilakukan melalui prosedur yang sama, serta hanya bisa dilakukan secara
terpisah. Dalam kondisi seperti itu, PIPS yang bersifat “integratif” jelas
tidak mungkin menggunakan prosedur yang sama terhadap materi dan
proses keilmuan yang secara nyata dan fitrah berbeda karakteristiknya.
Fenomena ini bisa terjadi, karena para pakar dan pengembang
program PIPS tahun 1960an kurang cermat melihat kaitan antara PIPS
dan ilmu-ilmu sosial. Mereka cenderung untuk melihat evolusi PIPS
hanya dari sudut pandang ilmu-ilmu sosial semata, dan tidak ada upaya
untuk melihat dari sudut pandang yang lain. Karena alasan itu pula,
gagasan yang dicoba dikembangkan melalui gerakan The New Social