Page 118 - Pendidikan IPS : Konstruktivistik da Transformatif
P. 118

PENDIDIKAN IPS KONSTRUKTIVISTIK DAN TRANSFORMATIF

              Dilihat dari sumbernya, struktur substantif kurikulum PIPS secara   109
          eklektik terdiri dari dua jenis pengetahuan, yaitu: (a) pengetahuan
          “fungsional” (functional knowledge) atau dalam terma  Vygotsky
          (Kozulin, 1998; Wells, 2000) disebut “pengetahuan spontan/keseharian”
          (spontaneous or everyday knowledge), “konsep asli” (genuine concepts),
          atau Ogawa (2002) menyebut sebagai “pengetahuan asli” (indigenous
          science) yang dibangun oleh siswa dari realitas dan pengalaman personal,
          sosial, dan kulturalnya di dalam keseharian hidup masyarakatnya; dan
          (b) pengetahuan  “non-fungsional” (non-functional knowledge) atau
          “pengetahuan ilmiah” (scientific knowledge) dari disiplin ilmu-ilmu (sosial
          dan non-sosial) yang dipandang memiliki tingkat keterkaitan dengan
          struktur pengetahuan siswa, dan bisa mendukung terciptanya keutuhan
          jalinan tema kajian.
              Prinsip eklektisisme di dalam pengembangan struktur substantif
          kurikulum,  akan memberikan kepada  PIPPS-SD dua kekuatan yang
          bersifat komplementer—meminjam istilah Capra (2000)--, yaitu
          “ekologisme” personal dan sosiokultural dan “egoisme” keilmuan. Dalam
          wacana teoretis dan epistemologis dewasa ini, dengan maraknya kajian-
          kajian keilmuan dalam perspektif lintas-budaya, prinsip eklektisisme
          antara “pengetahuan alamiah” (natural science)  dengan “pengetahuan
          ilmiah” (scientific science) semakin menjadi keniscayaan di dalam
          rekonstruksi struktur isi kurikulum posmodernisme.
              Para pakar menyebutnya sebagai eklektik antara “western science”
          dengan “native reality” (Kawagley & Barnhardt, 2000); “indigenous science”
          (Michie, 2001) dan “western science”; “western sciences” dan “aboriginal
          sciences”  (Aikenhead, 2002). Perkembangan baru dalam paradigma
          rekonstruksi kurikulum ini, membuat wacana tentang perlunya
          “penyederhanaan, simplifikasi, stilasi, atau modifikasi” struktur disiplin
          ilmu-ilmu sosial kurang relevan lagi untuk menjadi diskusi akademik
          dalam konteks pengembangan struktur substantif dalam PIPS.
              Dalam konteks paradigma baru ini pula, di dalam pendidikan
          keilmuan belakangan lahir konsep “science for all” dalam pendidikan
          sains,  atau “realistic mathematics” dalam pendidikan matematika
          (Bray &  Tangney, 2015). Berdasarkan kecenderungan baru di dalam
          pengorganisasian struktur isi kurikulum tadi, maka menjadi suatu
          keniscayaan bagi PIPS untuk melakukan gerakan pembaharuan serupa,
          dan tidak lagi bersikukuh terhadap pandangan lama bahwa PIPS harus
          dikembangkan berdasarkan struktur disiplin ilmu semata, ala Brunerian.
              Secara teoretik, sesungguhnya pula pengetahuan fungsional atau
          keseharian memiliki kesamaan dengan pengetahuan ilmiah. Keduanya
          sama-sama dibangun atas dasar kesadaran diri subjek atas realitas
   113   114   115   116   117   118   119   120   121   122   123