Page 145 - Membumikan Ide dan Gagasan Soekarno-Hatta
P. 145
Forum Rektor Penguat Karakter Bangsa (FRPKB) Membumikan Ide dan Gagasan Soekarno-Hatta
‘keanekaragaman’. Selanjutnya adalah negara budaya yaitu komunitas yang terdiri
128 129
dari orang-orang yang berbeda dengan bahasanya, cara hidupnya, sejarahnya, dan tanah
airnya sendiri. Ketika negara mengklaim sebagai negara budaya maka negara akan
berusaha merebut mitos kekerabatan dengan dirinya sendiri dengan menggambarkan
seluruh masyarakat sebagai komunitas etnis. Klaim kebangsaan budaya memungkinkan
negara untuk menuntut kesetiaan warganya dengan cara menggemakan kesetiaan etnis.
Kebangsaan model ini menawarkan bentuk identitas keamanan dan otoritas kepada
anggotanya seperti keluarga.
Menguatnya politik identitas, terutama di negara pasca-kolonial tidak lepas
dari kegagalan dalam membangun perilaku demokratis yang terkonsolidasi dengan
baik. Proses konsolidasi atas perilaku demokratik ini diistilahkan civic-nationalism
(nasionalisme kewargaan). Nasionalisme kewargaan menciptakan adanya proses
politik pada berbagai tingkat yang membuka peluang bagi adanya pertukaran sosial dan
politik antar elit yang berasal dari latar belakang etnis, agama, komunitas yang beragam
untuk kemudian berbagi komitmen dalam rangka mengembangkan konstitusi, aturan,
konsensus, kesepakatan bersama yang lebih umum dan bersifat lintas-basis primordial.
Untuk itu civic nationalism dibangun di atas sebuah kontrak sosial untuk menjaga
kepentingan bersama. Adanya penguatan politik identitas dapat memastikan bahwa
negara telah gagal mewujudkan nasionalisme kerakyatan yang biasanya terimplementasi
dengan membangun semangat kolektivitas bukan berdasarkan ikatan primordial yang
didasarkan pada identitas askriptif tetapi dalam nuansa egalitarian dan pluralitas yang
yang lahir dari relasi sosial inklusif dan saling percaya.
Ekspresi lebih lanjut dari kegagalan negara mengembangkan nasionalisme
kewargaan ialah adanya dominasi atau hegemoni basis ikatan sosial tertentu (agama
atau etnis tertentu) dalam perpolitikan negara. Konsekuensinya, kelompok atau identitas
sosial yang kalah dalam pertarungan mencapai hegemoni cenderung akan mengalami
proses ekslusi dan marjinalisasi. Pihak yang gagal menguasai sumber daya ekonomi
dan politik akan menjadi kelompok yang bungkam dan tanpa suara (voiceless). Upaya
marjinalisasi ini akan berlangsung melalui proses-proses diskursif seperti stereotyping,
jarak sosial dan macam sebagainya, dan melalui praktif-praktik koersif-represif
(Bertrand, 2004).
Jika negara gagal mengembangkan nasionalisme kewargaan, pengentalan ikatan
sosial bernuansa etnik, ethnic nationalism (sebagai salah satu ekspresi politik identitas)
akan dengan mudah muncul ke permukaan. Dalam gagasan ethnic nationalism,
sebuah bangunan politik cenderung dibangun atas sifat kelompok etnis yang dominan.
Asumsi ini muncul karena pada dasarnya ethnic nationalism dipengaruhi oleh adanya
pengaruh kolonisasi internal yang menimbulkan ketimpangan regional dan spasial
serta relative deprivation yang dialami oleh komunitas atau kelompok sosial yang
dimarjinalkan. Ethnic nationalism sangat dipengaruhi juga oleh keterlibatan elit
dalam proses penguatan identitas etnisitas. Para elit ini yang kemudian memanipulasi
diskursus sosial dan memobilisasi berbagai sarana politik dan ekonomi sehingga
solidaritas sosial terbangun terkonsolidasi dengan sempurna. Harapan daerah tentang