Page 143 - Membumikan Ide dan Gagasan Soekarno-Hatta
P. 143

Forum Rektor Penguat Karakter Bangsa (FRPKB)                                                                                           Membumikan Ide dan Gagasan Soekarno-Hatta


                        di Barat, tapi lebih organik dan bergantung pada intelektual untuk mengartikulasikan ide
                126                                                                                                                                                                                             127
                        nasional. Di Barat nasionalisme adalah fenomena politik dan didahului oleh kemunculan
                        “nation-building”, sedangkan di Timur nasionalisme muncul setelahnya dalam konflik
                        dengan negara-negara yang ada dan dalam domain kultural. Nasionalisme di Barat tidak
                        berkutat  pada mitos-mitos  sejarah, sedangkan kebalikannya di  Timur nasionalisme
                        dibangun dengan mengatur  kesadaran nasional  melalui  manipulasi  ingatan,  simbol,
                        mitos dan identitas. Nasionalisme di Barat dikaitkan dengan kebebasan individu dan
                        kosmopolitanisme rasional, sedangkan di Timur sebaliknya (Kohn, 1967).
                             Konsepsi Kohn tersebut mendapat kritikan yang cukup tajam dari  Kozio (2002),
                        yang  menurutnya  terdapat  enam  kelemahan  konsepsi nasionalisme  Kohn;  Pertama,
                        semua negara Barat berbagi wawasan budaya, nilai, identitas, dan mitos historis dalam
                        identitas umum yang merupakan ‘bangsa’. Kedua, kerangka Kohn mengabaikan semua
                        bentuk nasionalisme anti-demokrasi, masyarakat non-Barat yang ada di Barat, sementara
                        juga mengabaikan manifestasi demokrasi dan nasionalisme kewarganegaraan di Timur.
                        Ketiga, pembagian  nasionalisme  berdasarkan geografi mengabaikan  kekerasan etnis
                        dan teritorial yang terjadi di negara-negara Barat. Keempat, pembagian nasionalisme
                        Kohn menjadi dua kelompok mengidealisasikan  nasionalisme  di ‘Barat’ sebagai
                        fenomena sipil yang selalu sepenuhnya mencakup kelompok sosial dan etnis. Kelima,
                        kerangka kerja Kohn mengabaikan fakta bahwa, seperti di Barat, nasionalisme di Timur
                        juga dapat berevolusi ke arah keragaman sipil dari waktu ke waktu. Keenam, apa yang
                        secara tradisional dianggap sebagai proses ‘pembangunan bangsa’ yang positif di Barat
                        telah  dijelaskan dengan  cara  negatif  sebagai  ‘nasionalisasi  negara’ di Timur. Selain
                        Kozio, Kymlicka  (Kymlicka,  1995) juga mengkritik  klaim  tersebut,  bagi Kymlicka
                        nasionalisme budaya sama berkembangnya baik di Barat maupun di Timur. Tidak ada
                        yang secara intrinsik anti-liberal jika sebuah kelompok etnis ingin mempertahankan
                        identitas budayanya dalam negara sipil. Oleh karena itu Kymlicka menekankan bahwa
                        nasionalisme Barat dan Timur memiliki komponen budaya dan identitas yang keduanya
                        didasarkan pada budaya.
                             Dengan demikian, nasionalisme bisa dikatakan sebagai istilah untuk fenomena
                        integrasi budaya modern. Jenis kesadaran nasional ini terbentuk dalam gerakan sosial
                        dan muncul dari proses modernisasi pada saat orang-orang sekaligus dimobilisasi dan
                        diisolasi sebagai individu. Nasionalisme adalah suatu bentuk kesadaran kolektif yang
                        mengandaikan penggunaan tradisi budaya secara reflektif yang telah disaring melalui
                        historiografi dan menyebar hanya melalui saluran komunikasi massa modern. Kedua
                        elemen  meminjamkan  nasionalisme  sifat-sifat  artifisial  sesuatu  yang  sampai  batas
                        tertentu  merupakan  konstruk,  sehingga  menjadikannya  sebagai  definisi  yang  rentan
                        terhadap penyalahgunaan manipulatif oleh elit politik (Habermas, 1994).
   138   139   140   141   142   143   144   145   146   147   148