Page 149 - Membumikan Ide dan Gagasan Soekarno-Hatta
P. 149
Forum Rektor Penguat Karakter Bangsa (FRPKB) Membumikan Ide dan Gagasan Soekarno-Hatta
akhirnya berubah menjadi nasionalisme Indonesia karena pada saat itu nama Indonesia
132 133
belum digunakan saat kaum nasionalis memperdebatkan masa depan Indonesia (Reid,
1983). Sampai tahun 1920-an kebanyakan kaum nasionalis berpegang pada konsepsi
etnis/budaya tentang nation. Kebanyakan dari mereka biasanya membayangkan bentuk
federasi dengan otonomi regional yang kuat (Miert, 2003).
Gerakan etnonasionalisme tersebut melahirkan beberapa organisasi yang
bercorak etnis bahkan identitas agama seperti: Jong Java, Jong Islamited Bond (JIB),
Jong Sumatranen Bond (JSB), Studerenden Vereniging Minahasa, Jong Ambon, dan
lain sebagainya (Miert, 2003; Reid, 1983). Organisasi-organisasi ini yang kemudian
menginisiasi Kongres Pemuda I dan II yang berhasil membuat konsesus “Bangsa
Indonesia” dalam naskah Sumpah Pemuda 1928. Pada masa perjuangan kemerdekaan
Indonesia deskripsi nasionalisme berkutat pada perdebatan “bumiputera” dan “pribumi”
untuk membedakan penduduk asli dan penduduk kolonial. Keduanya berasal dari bahasa
Sansekerta yang merepresentasikan putra asli.
Di Indonesia sendiri bukan tanpa konflik akibat etnonasionalisme. Dalam
pusaran sejarah Indonesia, ada beberapa konflik besar akibat dari ketegangan antara
nasionalisme-kewarganegaraan dengan etnonasionalisme. Setidaknya ada dua konflik
besar dengan latar belakang etnik: konflik tuntutan kemerdekaan Aceh, dan kebangkitan
etnonasionalisme Papua. Keduanya merupakan wilayah diujung paling barat dan timur
Indonesia. Pertama, konflik tuntutan kemerdekaan Aceh mulai sejak diproklamasikan
kemerdekaan Aceh pada 4 Desember 1976 di Pidie oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
yang dipelopori oleh Muhammad Hasan Tiro. GAM lahir karena nasionalisme etnis
Aceh bangkit sebagai jawaban terhadap kebijakan pemerintah pusat yang sentralistik
(Syamsudin, 1987). Selain masalah kekecewaan pada pemerintah pusat, konflik di Aceh
juga muncul akibat peminggiran identitas kultural masyarakat Aceh (Tippe, 2000).
Identitas kultural kebangsaan Aceh sendiri sudah tumbuh dan menguat jauh
sebelum identitas kebangsaan Indonesia muncul. Paling tidak Aceh menjadi daerah
paling terakhir ditaklukkan oleh Belanda dibanding daerah lain. Aceh ditaklukkan
Belanda di tahun 1903 dan menjadi perang kolonial paling lama dan mahal yang
diderita Belanda (Bertrand, 2004). Karena itu, Aceh memiliki titik tolak yang berbeda
saat integrasi menjadi Indonesia. Mereka telah membentuk rasa komunitas yang unik
dan kuat melalui kejayaan masa lalu dan identitas Islam yang kuat. Pengorbanan besar
rakyat Aceh dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia berharap pada pengakuan
identitas budaya dan keagamaan dalam stuktur negara, namun atas nama nasionalisme
permintaan itu tidak dikabulkan oleh para pendiri bangsa. Hal ini memunculkan rasa
kecewa yang dalam bagi rakyat Aceh dan menjadi alasan yang sangat fundamental
untuk melawan Republik dengan wadah Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII)
oleh Daud Beureuh (Nurhasim, 2003).
Setelah DI/TII berhasil di tumpas era Soekarno, semangatnya masih terus dijaga
karena kondisi sosial ekonomi yang tidak membaik pada masa Orde Baru. Sekitar
tahun 1974-1975, Hasan Tiro berada di Pidie untuk mulai mensosialisasikan idenya
dan sekaligus menggalang kekuatan untuk berdirinya Gerakan Aceh Merdeka dan pada