Page 152 - Membumikan Ide dan Gagasan Soekarno-Hatta
P. 152
Forum Rektor Penguat Karakter Bangsa (FRPKB) Membumikan Ide dan Gagasan Soekarno-Hatta
bahwa Papua Barat adalah bagian intrinsik dari Hindia Belanda yang menjadi cikal
134 135
bakal Indonesia. Kedua sejarah referendum 1968 yang dikenal dengan Act of Free
Choice (AFC). Menurut klaim dari nasionalis Papua Barat, mereka mendeklarasikan
kemerdekaanya pada tahun 1961 sehingga pemerintahan Indonesia atas Papua Barat
dan hasil Act of Free Choice (Penentuan Pendapat Rakyat) adalah ilegal (Viartasiwi,
2018).
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa fondasi kesadaran dan identitas Papua
secara sistematis dikonstruksi oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Upaya konstruksi ini
dilakukan dengan memanfaatkan faktor perbedaan ras dan budaya yang digunakan sebagai
wacana formal proses menjadi Papua bagi orang orang asli Papua yang membedakannya
dengan orang Indonesia. Kondisi ini diperkuat dengan tindakan Pemerintah Indonesia
sejak Indonesia menguasai Papua pada 1963 dengan marginalisasi orang asli dan proses
pembangunan yang meninggalkan dan menimbulkan efek diskriminatif terhadap orang
asli Papua dan diperburuk dengan catatan kekerasan negara dan pelanggaran HAM. Jadi
identitas Papua digunakan sebagai pembeda instrumen sekaligus representasi berbagai
persoalan konkret yang semakin kompleks dari sejak zaman kolonial hingga sekarang
ini (Rozi, 2006).
Untuk meredakan konflik pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya
dalam penyelesaian di Papua. Salah satunya dengan memberikan status otonomi khusus
untuk Papua sejak tahun 2001 dengan dikeluarkannya UU No. 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Propinsi Papua. Dengan status otonomi khusus ini diharapkan menjadi
solusi permasalahan marginalisasi ras dalam pembangunan yang selama ini menjadi
bahan bakar paling kuat dalam menguatnya etnonasionalisme Papua.
Dari Dua kasus yang berlatar etnoasionalisme tersebut menunjukkan bahwa
sebagai bangsa yang multietnis Indonesia harus siap menghadapi kemungkinan
munculnya kebangkitan etnonasionalisme yang akan mempertentangkannya dengan
nasionalisme kewargaan. Meskipun beragam suku bangsa telah bersepakat membentuk
satu bangunan kebangsaan yang besar, tetapi bukan jaminan pasti bangunan tersebut
akan tetap berdiri kokoh mempertahankan eksistensinya. Bisa saja beberapa kelompok
etnis yang merasa terpinggirkan secara politik, ekonomi, bahkan sosial dan budaya,
akan mengorganisasi kelompok etniknya untuk melawan bangunan kebangsaan yang
sudah menjadi konsensus sejak 1928.
Terdapat dua alasan mengapa sebuah kelompok etnis yang semula berkehendak
membentuk bangsa kemudian dalam perjalanan menjadi kehilangan orientasi
nasionalismenya dan menuntut kemerdekaan. Pertama karena adanya kompetisi dalam
bidang politik ekonomi sosial dan budaya yang tidak imbang kemudian mendorong
menguatnya identitas suatu kelompok etnis. Kedua adanya faktor yang menggerakkan
anggota kelompok etnis sehingga memiliki sentimen keetnisan yang kemudian mengarah
pada pembentukan sebuah bangsa yang mandiri (Rothscild, 1981). Penyebab pertama
disebut dengan pendekatan kontekstual dimana sentimen keetnisan terkait sebuah
situasi ketidakadilan di berbagai bidang termasuk ekonomi, politik, sosial, dan budaya
yang dialami oleh kelompok etnis baik berupa pengabaian, eksploitasi, dominasi,