Page 194 - Transformasi Sosial Menuju Masyarakat Informasi Yang Beretika dan Demokratis
P. 194
178
Bagian III : Etika dan Hukum
telah menjadi sebuah angan‐angan, dan dalam keadaan seperti itu hukum
tidak lagi kondusif bagi pencari keadilan (justitiabelen). Masyarakat sebagai
konsumen hukum tidak lagi dapat menikmati cita rasa keadilan sehingga
14
masyarakat hanya mendapatkan ketidakadilan.
Hukum bukan lagi tempat yang kondusif untuk menciptakan
keharmonisan dan keserasian sosial, bahkan hukum telah menjelma menjadi
neo‐imperium (penjajah baru) di mana keadilan telah tereliminasi dan
hukum menjadi sesuatu yang anarki. Oleh karena itu, hukum dan keadilan
telah terpisahkan, maka keadilan dianggap sebagai pihak oposisi dari
hukum. Ketika masyarakat menuntut keadilan, hukum begitu reaktif dengan
melakukan rasionalisasi prosedural hukum, kualitas kepastian dan alasan –
alasan lainnya. Masyarakat begitu apatis terhadap hukum karena hukum
telah kehilangan kepercayaan (loosing trust). Masyarakat lebih memilih jalan
sendiri untuk menyelesaikan konflik yang mengganggung kepentingan
sosial.
Hukum dan keadilan sebenarnya adalah dua elemen yang saling bertaut
yang merupakan “condition sine qua non” bagi yang lainnya. Supremasi
hukum yang selama ini diidentikkan dengan kepastian hukum sehingga
mengkultuskan undang – undang, menjadi titik awal timbulnya masalah
penegakan hukum. Pemikiran ini sebenarnya tidak salah, namun bukan
berarti absolut benar adanya. Undang – Undang memang harus
ditempatkan sebagai sesuatu yang harus dilaksanakan karena merupakan
manifestasi konsensus sosial (walaupun dalam banyak hal undang – undang
tidak lebih dari sebuah manipulasi hukum). Namun kita tidak boleh menutup
mata dan telinga bahwa konsensus tersebut adalah sebuah momentum
sesaat yang tidak mampu mengikuti arah gerak keadilan yang terus bergerak
mengikuti waktu dan ruang. Konsensus tersebut sifatnya hanya sementara
dan bukan permanen, sebab rasa keadilan akan bergerak cepat
15
mengimbangi suksesi ritme dan ruang.
Rasa keadilan terkadang hidup di luar undang – undang, yang jelas
undang – undang akan sangat sulit untuk mengimbanginya. Begitu pula
16
sebaliknya undang – undang itu sendiri dirasakan tidak adil. Ketika rasa
14
Sukarno Aburaera dkk, Filsafat Hukum Teori dan Praktik, Jakarta, KENCANA, 2013, hlm.
177‐178
15
Sukarno Aburaera dkk, Filsafat Hukum Teori dan Praktik, Jakarta, KENCANA, 2013, hlm.
178‐179
16
Gustav Radbruch, mengingatkan bahwa dalam produk perundang – undangan (Gezets)
kadang kala terdapat Gezetsliches Unrecht, yakni ketidakadilan di dalam undang – undang,