Page 110 - Buku Pedoman Pendidikan Jarak Jauh
P. 110
Pendidikan )arak )auh •
besar itu, di samping memerlukan ruangan yang cukup besar dengan
dana yang tidak sedikit, akan menimbulkan masalah baru, yaitu
penambahan tenaga pengajar yang diperkirakan akan mencapai
80.000 - 90.000 orang. Meskipun dana yang diperlukan untuk
mengembangkan dapat disediakan, penambahan 80.000 dosen
sampai akhir Pelita IV (selama 5 tahun) tidak mungkin dapat dicapai
(Direktorat Pembinaan Sarana Akademik, 1982: 6).
Masalah lain adalah rendahnya mutu pendidikan, terutama pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah. Pada akhir dasawarsa
tahun 1970-an banyak guru SL TP dan SLTA yang dididik secara
darurat dalam bentuk program singkat, sehingga belum memenuhi
standar kemampuan yang disyaratkan untuk mengajar di sekolah-
sekolah pada tingkat pendidikan tersebut. Upaya untuk meningkat-
kan pendidikan guru (02 untuk SL TP dan S 1 untuk SL T A) setelah
mereka bekerja ternyata tidak mudah, karena kendala biaya dan
waktu. Mereka harus meninggalkan tugas mengajarnya. Pada tahun
1981, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi melaksanakan program
pendidikan jarak jauh PGSLP 02 bagi guru sekolah lanjutan tingkat
pertama (SLP) yang telah memiliki ijazah 01 dan PGSLP. Program
ini diberi nama Program Belajar Jarak Jauh Proyek Pengembangan
Pendidikan Diploma Kependidikan. Proyek ini dikelola oleh
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Untuk menyelenggarakan
proses pendidikannya, dibentuk Satuan Tugas (Satgas) Belajar Jarak
jauh di 12 Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).
Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah memutuskan
membuka sebuah universitas negeri yang sifatnya terbuka dengan
sistem belajar jarak jauh. Keputusan itu diambil karena beberapa
pertimbangan: Pertama, pendidikan jarak jauh tidak memerlukan
dosen tetap dengan jumlah yang banyak. Kedua, sumber daya
pendidikan tinggi yang ada dapat dimanfaatkan untuk membantu
penyelenggaraan sistem belajar jarak jauh tanpa mengganggu tugas
92