Page 73 - Hermeneutika dan Semiotika Dalam Puisi
P. 73
Bagian 04
Pada puisi soneta “Senja”, hal pertama yang
terasa adalah persoalan kolektif batiniah yang
Sanusi Pane lihat, rasakan, bahkan saat berhadapan
dengan simbol-simbol kegelisahan pada suatu titik
kehidupannya. Pada sisi persoalan inilah seseorang
bisa mendadak gamang, hanyut dalam bayang-
bayang yang tak dipahaminya atau justru menjadi
beban pertanyaan yang menguasai pikiran dan
sekujur rasa. Seperti bisa disimak pada bait: “Sukma
sunyi seperti dahsyat” dan kondisi dan peristiwa
semacam ini, “sukma sunyi” sering dimaknai sebagai
pengalaman eksistensial. Kemudian dilanjutkan
dengan bait: “Lemah lesu karena rawan//Hati
rindu memandang alam”, ini menjadikan sebuah
pengalaman yang melahirkan beragam kegelisahan
atas rangkaian pada sebuah kesadaran bahwa
dirinya merupakan bagian dari misteri alam yang
selalu membawanya menuju sebuah tanda tanya.
Tampak mengalir sebuah paham romantik masih
tetap mengalir dalam jiwa Sanusi Pane pada puisi
“Senja”.
Seorang Heidegger mengungkapkan bahwa
bahasa puitis bukan sekedar sumber kenikmati
estetis, tetapi ia sarat daya-daya tersembunyi,
daya yang menyingkap dunia, mentransfigurasi
eksistensi kita dan menorehkan sejarah sebagai hasil
petualangan-petualangan liar semiotika. Termasuk
yang diungkap Sanusi Pane melalui bait yang getir
ini: “Diam takut menanti malam,// Terkenang aku
akan rupawan// Akan adinda diikat adat”. Akhirnya
menyembul rasa cinta kepada “adinda”. Dan cinta
bisa membuat kata-kata sederhana menjadi begitu
luar biasa. Karena cinta, ada di relung-relung
kebahagiaan yang menggetarkan, tetapi juga bisa
membuat petaka yang maha dasyat. Cinta seperti
angin yang datang dan bisa dirasakan kehadirannya
atau pun merasakan keindahannya melebihi
62