Page 69 - Hermeneutika dan Semiotika Dalam Puisi
P. 69

Bagian 04


                           dan filsafat.

                                Tahun 1934 ia memimpin Perguruan Rakyat
                           di Jakarta dan aktif dalam jurnalistik juga menjadi
                           pemimpin harian Kebangunan, lalu menjadi kepala
                           pengarang  pada  Sidang  Pengarang  Balai  Pustaka.
                           Pada masa itulah dia ikut dalam polemik  masalah
                           kebudayaan  dengan  Sutan  Takdir Alisjahbana,  Dr.
                           Soetomo, Poerbatjaraka, dan lain-lainnya. Karangan-
                           karangannya  ialah:  Pantjaran Tjinta  (1926),  Puspa
                           Mega  (1927),  Madah Kelana (1931)  ketiganya
                           berupa kumpulan sajak prosa dan lirik; Kertadjaja
                           (1932), Sandhyakala Ning Majapahit (1933), Manusia
                           Baru  (1940)  ketiga-tiganya  sandiwara.  Kecuali
                           itu  diapun  menulis  dua  buah  sandiwara  dalam
                           bahasa Belanda: Airlangga (1928)  dan Eenzame
                           Garoedavlucht  (1929).  Kecuali  Manusia  Baru  yang
                           mengambil tempat berlakunya di India, semua
                           sandiwara-sandiwara  Sanusi  berdasarkan  sejarah
                           jaman  Hindu  di  Jawa.  Dia  memang  mempunyai
                           minat yang serius terhadap penulisan  sejarah
                           nasional Indonesia. Dia menulis sejarah Indonesia
                           (1942)  yang  dilengkapkan  enam tahun  kemudian
                           (1948) dan Indonesia Sepanjang Masa (1952) yang
                           merupakan kritik terhadap cara penulisan sejarah
                           Indonesia hingga saat itu.

                                Sajak-sajaknya    sangat   dalam,    meski
                           dalam beberapa hal diapun bisa  riang-riangan.
                           Persoalan-persoalan hidupnya sendiri, bangsanya,
                           dijadikannya  persoalan semesta lambang  dari
                           manusia yang mencari bahagia. Di antara  para
                           penyair sebelum perang, Sanusi Pane adalah yang
                           terbesar  dan  penuh  kesungguhan.  Sajaknya  Sijwa
                           Nataradja  adalah salah sebuah sajak besar yang
                           pernah ditulis  dalam bahasa Indonesia  (http://
                           sastranesia.com/sanusi-pane/).





            58
   64   65   66   67   68   69   70   71   72   73   74