Page 101 - Hermeneutika dan Semiotika Dalam Puisi
P. 101

Bagian 04


                           pula  Ia  mengikuti  kuliah  di  Rechtshogeschool
                           (Sekolah  Tinggi  Kehakiman)  selama satu  tahun.
                           Pada tahun 1929--1930 dia melawat ke India untuk
                           memperdalam kebudayaan  Hindu  (Nasution.
                           1963).  Dalam sastra Indonesia,  Sanusi  Pane
                           dikelompokkan sebagai sastrawan sebelum perang.
                           Namun,  Sebagai  seorang  sastrawan  sebelum
                           perang. Sanusi Pane tidak setenar adiknya, Armijn
                           Pane, yang  cukup  terkenal lantaran romannya
                           Belenggu;  Menurut  J.U. Nasution, Sanusi  adalah
                           penulis terbesar pada masa sebelum perang atau
                           masa  Angkatan Pujangga Baru. Selain penulis
                           drama, Sanusi  Pane  juga  dikenal  sebagai  penulis
                           puisi. Nama Sanusi Pane tetap terukir dalam sastra
                           Indonesia, khususnya pada masa sebelum Perang
                           Dunia II, baik sebagai penulis puisi maupun penulis
                           drama. Di samping itu, dia termasuk salah seorang
                           tokoh pendiri Angkatan Pujangga Baru. Sanusi Pane
                           menjadi  pembantu  utama. Pada masa gerakan
                           Pujangga Baru ada perubahan yang cukup mencolok
                           dibandingkan   dengan    angkatan   sebelumnya
                           mengenai pandangan orang terhadap kebudayaan
                           Indonesia. Perbedaan pandangan itu menimbulkan
                           polemik  yang cukup  seru. Polemik itu  melibatkan
                           tokoh  kenamaan,  seperti  Ki  Hadjar  Dewantara,
                           Purbatjaraka,  Sutomo, M. Amir, Adinegoro, Sutan
                           Takdir Alisyahbana, dan Sanusi Pane. Karangan yang
                           muncul  dalam polemik dari para ahli kebudayaan
                           itu dikumpulkan  oleh Achdiat Karta Mihardja
                           (1977) menjadi sebuah buku yang berjudul Polemik
                           Kebudayaan.  Dalam banyak hal Sanusi  Pane
                           bertentangan dengan Sutan Takdir Alisyahbana.
                           Takdir yang  lebih  banyak  condong  ke  Barat
                           mempunyai  semboyan  bahwa  hidup  harus  selalu
                           berjuang.  Hidup  harus bekerja keras. Semboyan
                           Sanusi Pane yang lebih mengutamakan ketenangan
                           dan kedamaian itu tampaknya terjelma pada hampir
                           semua hasil  karyanya, baik  yang  berupa  puisi


            90
   96   97   98   99   100   101   102   103   104   105   106