Page 96 - Pendidikan IPS : Konstruktivistik da Transformatif
P. 96
PENDIDIKAN IPS KONSTRUKTIVISTIK DAN TRANSFORMATIF
peristiwa sesuai dengan dengan waktu, pengertian lamanya masa 87
panen, dan keserempakan peristiwa. Pada fase operasi formal awal
(usia 11-12 tahun) anak sudah memiliki kemampuan “paradigma waktu”
(temporal dan historis) dalam bentuk imaginasi tentang kondisi-kondisi
dari suatu permasalahan yang dihadapi. Jadi bagi Piaget, ruang dan
waktu adalah konsep perkembangan, nyata hanya dalam pengertian
kontekstual. Anak juga mampu mengembangkan sistem mereka sendiri
untuk mengukur waktu, dan pengertian anak tentang waktu secara
bertahap berkembang dari yang sederhana dan terus berkembang
semakin kompleks menurut tingkat kematangannya. Bahkan menurut
Zaccaria (Sunal & Haas, 1993) kemampuan siswa berpikir formal tentang
waktu, seperti: waktu fisikal, urutan, pergantian, dan percepatan yang
berkaitan dengan sains tersebut.
Akan tetapi, perlu dicermati bahwa studi Piaget dan Zaccaria
tersebut berkaitan dengan karakteristik-karakteristik waktu dalam
konteks keruangan dan sains (fisika). Apakah karakteristik-karakteristik
waktu tersebut sama penggunaannya dalam konteks kesejarahan masih
banyak pertanyaan. Studi Jantz dan Klaweitter (1991) menunjukkan,
bahwa prinsip-prinsip dasar tentang waktu dan kronologi yang
dirumuskan atas konsep hubungan abstrak sangat sukar dipahami dan
dicapai anak.
Studi Levin dan Gilat (Maxim, 1987) juga memberikan catatan kritis
terhadap studi Piaget; bahwa pemahaman anak tentang konsep waktu
menurut alam waktu, bukan menurut alam ruang. Artinya pemahaman
anak tentang waktu tidak bisa dipahamkan menurut konsep ruang,
demikian pula sebaliknya. Atas dasar itu, mereka mengingatkan agar
landasan teori tentang bagaimana sebenarnya pemahaman anak
tentang konsep waktu berkembang, masih harus diselesaikan.
Temuan yang sama juga dikemukakan oleh Jenkins dan
Shacter (Maxim, 1987) bahwa pada jenjang kelas-kelas awal SD (1-3)
kemampuan anak berkaitan dengan waktu masih sebatas pada hari,
bulan, dan tahun, yang dikaitkan dengan masa lalu dan masa depan
diri-sendiri. Sungguhpun anak menunjukkan minat terhadap kejadian
masa lalu, akan tetapi seringkali masih sangat kacau mengenai kapan
persisnya kejadian itu. Namun setidaknya mereka sudah memahami
bahwa masa lalu adalah waktu orang-orang tua hidup. Pada jenjang
kelas selanjutnya (4-6) anak sudah menyadari adanya kekuatan sejarah
di dalam kehidupan dirinya dan menyadari bahwa dirinya sebagai
makhluk menyejarah (themselves as historical being). Assosiasi Nasional
untuk Pendidikan Anak (Stopsky & Lee, 1994) juga menemukan bahwa
walaupun anak mengalami kesulitan memahami konsep waktu, tetapi