Page 151 - Cakrawala Pendidikan : Implikasi Standardisasi Pendidikan Nasional Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan
P. 151
Cakrawala Pendidikan 3
pembentukan identitas atau karakter peserta didik (Sumantri,
2002).
Berdasarkan pemikiran dan hasil-hasil penelitian di atas,
maka struktur materi kurikulum SO harus merupakan sebuah
organisasi sistemik atau tubuh informasi dan keyakinan yang
tersimpan dalam bentuk skema-skema yang saling berkaitan satu
dengan lain membangun sebuah jaringan struktural-fungsional.
Berpijak pada prinsip struktur internal peserta didik tadi,
maka struktur materi kurikulum SO secara eklektik harus
merupakan sebuah jaringan organisasi isi yang sistemik,
struktural maupun fungsional antara tiga struktur dasar, yakni:
1. Struktur substantif (Philip, 1987), atau struktur konseptual
(Michaelis, 1978); atau Toulmin menyebut ekologi konseptual
(Suparno, 1997), dan dalam konsep Piaget disebut "isi".
Struktur substantif dimaksudkan sebagai jalinan atau relasi
antar-materi kurikulum yang saling berkaitan penuh makna di
antara berbagai dimensi pengetahuan (faktual,
konseptual/deklaratif, metakognitif) yang memberikan
"konsepsi yang sama, Jelas, dan utuh" kepada peserta didik di
dalam: merumuskan pertanyaan, menemukan cara yang tepat
untuk memperoleh dan menafsirkan data, menyediakan
kerangka berpikir, bersikap, dan bertindak, dan membangun
pengertian, nilai, sikap, dan tindakannya, terhadap berbagai
realitas, fenomena, masalah, dan/atau kasus-kasus yang
dihadapi di dalam latar kehidupan personal dan sosialnya.
Prinsip eklektisisme di dalam pengembangan struktur
substantif kurikulum SO, akan memberikan dua kekuatan
yang bersifat komplementer-meminjam istilah Capra--, yaitu
ekologisme personal dan sosiokultural dan egoisme keilmuan.
Oalam wacana teoretis dan epistemologis dewasa ini, dengan
maraknya kajian-kajian keilmuan dalam perspektif lintas-
budaya, prinsip eklektisisme antara pengetahuan alamiah
dengan pengetahuan ilmiah semakin menjadi keniscayaan di
dalam rekonstruksi struktur materi kurikulum posmodernisme.
Para pakar menyebutnya sebagai eklektik antara western
science dengan native reality (Kawagley & Barnhardt, 2000);
indigenous science dan western science (Michie, 2001 );
western sciences dan aboriginal sciences (Aikenhead, 2002).
Oalam konteks paradigma baru ini pula, di dalam pendidikan
139