Page 37 - Transformasi Sosial Menuju Masyarakat Informasi Yang Beretika dan Demokratis
P. 37
21
Bagian I: Politik, Kebijakan Publik danKetimpangan Digital
Mempunyai wilayah tertentu. 5) Mempunyai harta kekayaan sendiri. 6)
Berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Sebagai kesatuan masyarakat
Hukum Adat, berarti Desa Pakraman/Desa Adat, diikat oleh adat
istiadatatau Hukum Adatyang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan
masyarakat setempat. Hukum Adatyang tumbuh dari masyarakat dikenal
dengan Awig‐Awig yang dijadikan landasan tertulis dalam pengaturan tata
kelola Desa Pakraman tersebut.
Konsep dasar terbentuknya Desa Pakraman, berlandasakan pada
Konsep Tri Hita Karana, yaitu 1) Parhyangan (tempat suci dalam bentuk
Kahyangan Tiga); 2) Pawongan (anggota masyarakat yng disebut dengan
kerama desa); dan 3) Palemahan (unsur wilayah desa). Filosofi inilah yang
sesungguhnya menjadi karakter desa pakraman yang membedakannya
dengan kesatuan masyarakat hukum adat yang ada di luar Bali. Filosofi Tri
Hita Karana ini bersumber dari ajaran Hindu, yang secara tekstual berarti
tiga penyebab kesejahteraan (tri=tiga, hita=kesejahteraan, karana=sebab).
Tiga unsur yang ada dalam Tri Hita Karana adalah Sanghyang Jagatkarana
(Tuhan Sang Pemcipta), Bhuana (alam semesta), dan manusa (manusia)
(Institut Hindu Dharma, 1996:3). Secara umum dapat dikemukakan bahwa
konsepsi Tri Hita Karana berarti bahwa bahwa kesejahteraan umat manusia
didunia ini hanya dapat terwujud bila terajadi keseimbangan hubungan
antara unsur‐unsur Tuhan‐Manusia‐Alam di atas, yaitu: a. Keseimbangan
hubungan antara manusia dengan manusia lainnya, baik sebagai individu
maupun kelompok. b. Keseimbangan hubungan antara manusia dengan
alam lingkungannya. c. Keseimbangan hubungan antara manusia dengan
Tuhan. Dengan demikian, sesungguhnya konsepsi tri hita karana tiada lain
adalah nilai harmoni atau keseimbangan.
Disamping nilai keseimbangan, nilai Ketuhanan dan
kekeluargaan/kebersamaan juga mewarnai konsespi ini. Nilai Ketuhanan
dapat dilihat dari unsur hubungan yang seimbang antara manusia dengan
Sanghyang Jagat Karana/Tuhan Sang Pencipta, sedangkan nilai
kekeluargaan tercermin dalam unsur hubungan antara dengan sesamanya,
baik sebagai individu maupun kelompok. Nilai‐nilai ini sesuai dengan alam
pikiran tradisional masyarakat Indonesia umumnya yang bersifat kosmis
relegius magis dan komunal.
Manusia diilihat sebagai bagian dari alam semesta yang tidak dapat
dipisahkan dengan Penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa. Semua itu,
yaitu manusia, alam semesta, dan Tuhan Sang Pencipta, saling berhubungan