Page 179 - Membumikan Ide dan Gagasan Soekarno-Hatta
P. 179
Forum Rektor Penguat Karakter Bangsa (FRPKB) Membumikan Ide dan Gagasan Soekarno-Hatta
Sebagaimana visi Sukarno tentang pendidikan, pendidikan kritis dalam konsep Ki Hajar
162 163
juga menempatkan kesadaran sebagai manusia merdeka sebagai salah satu tujuannya.
Kesadaran demikian diharapkan akan membangkitkan tekad dan kemauan untuk
memperjuangkan kemerdekaan.
Secara ideologis terang-benderang bahwa Sukarno berpihak kepada pendidikan
yang memerdekakan, pendidikan yang diidamkan dapat membawa bangsa Indonesia
pada potensi terbaiknya sebagai manusia. Sukarno juga meyakini politik dan pendidikan
merupakan satu kestuan dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan. Dari kedua
sisi itu, tampak jelas visi pedagogisnya. Namun visi tersebut tidak mudah diterjemahkan
ke dalam situasi konkret masa itu. Situasi situasi sosial dan politik yang tidak stabil
pada masa itu adalah salah satu kendalanya. Misalnya, bangsa Indonesia di awal
kemerdekaannya menghadapi tantang dasar seperti buta huruf yang cukup tinggi karena
angka buta huruf mencapai 97 persen.
Masalah fundamental lain yang dihadapi adalah rendahnya jumlah dan
kualitas guru. Sebagaimana dikemukakan Sukarno dalam “Menjadi Guru pada Masa
Kebangunan”, guru adalah elemen yang sangat penting bagi kemajuan pendidikan
karena berperan “membentuk akal dan jiwa anak-anak”. Untuk melaksanakan tugas
mulia ini ia mengidamkan guru yang baik, bukan saja cakap secara pedagogis tetapi
mampu menumbuhkan semangat hidup dalam jiwa para siswa. Menurutnya, mendapat
guru yang baik adalah ilham ilahi. Untuk menjadi guru yang semacam itu, guru harus
memiliki kepribadian yang sesuai dengan yang diajarkannya karena menurutnya “…
guru tidak bisa mendurhakai ia punya jiwa sendiri. Guru hanyalah dapat mengasihkan
apa yang dia itu sebenarnya.”
Masa-masa krisis guru pada awal masa kemerdekaan disiasati Presiden Sukarni
dengan mendirikan lembaga penghasil guru. Umasih (2014) mencatat Sukarno antara
lain memprakarsai pendirian Perguruan Tinggi Pendidikan Guru di Malang dan Bandung
pada 1954. Lembaga yang sama kemudian di Batusangkar (Sumatera Barat) dan
Tondano (Sulawesi Utara). Pendirikan keempat PTPG tersebut dinilai sebagai fase baru
yang menunjukkan perhatian Pemerintahan Presiden Sukarno tentang pentingnya mutu
guru. Pendirian lembaga-lembaga tersebut seperti menunjukkan keyakinan bahwa guru
yang baik dan hebat dapat dilahirkan melalui proses pendidikan yang baik dan hebat
pula. Ketika kebutuhan guru belum terpenuhi, pemerintah juga berinisiatif mendirikan
fakultas-fakultas keguruan di sejumlah universitas yang saat itu ada seperti UI, Unpad,
Unair, dan UGM. Kebijakan tersebut berlanjut hingga tahun 60-an ketika pemerintah
mendirikan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) di berbagai daerah dan mengesahkan
pendirikan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) di berbagai daerah seperti
Semarang, Malang, Jogjakarta, Padang, Makassar, dan kota-kota lain.
Selama menjabat sebagai Presiden pada 1945 hingga 1967 Sukarno menghadapi
tantang yang tidak ringan, terutama gejolak politik yang terjadi akibat belum mapannya
sistem tata negara. Namun demikian, Presiden Sukarno telah berjasa besar meletakkan
dasar-dasar filosofis pendidikan nasional Indonesia yang memungkinkan sistem
pendidikan nasional mencapai kemapanan seperti sekarang ini.