Page 175 - Membumikan Ide dan Gagasan Soekarno-Hatta
P. 175
Forum Rektor Penguat Karakter Bangsa (FRPKB) Membumikan Ide dan Gagasan Soekarno-Hatta
istilah sosiologi buordieuan adalah sebuah habitus berupa struktur yang menstrukturkan.
158 159
Kepedulian terhadap pendidikan tertanam sebagai norma, nilai yang mengakar dalam
kesadaran dan bawah sadarnya sehingga terkekspresi ketika menentukan momentum
yang tepat. Salah satu momentum tersebut adalah ketika ia bersama anggota BPUPKI
lain merancang dasar negara dan konstitusi negara. Pendidikan menjadi bidang yang
tidak luput dalam kerja politis dan diplomatisnya.
3. Politik Pendidikan Presiden Sukarno
Di berbagai tulisan awalnya, Bung Karno tampak sangat prikhatin dengan kondisi
pendidikan bangsanya. Ia melihat kolonialisme dan imperialisme telah mengeruk
begitu banyak hal dari bangsa Indonesia, bukan saja kekayaan alam tetapi juga
kebebasan, semangat hidup, bahkan harkat dan martabatnya. Ia sedih setiap kali melihat
bangsanya menjadi bodoh karena “dibodohkan” secara struktural oleh imperialisme
dan kolonialisme. Akibatnya, bangsa Indonesia tidak menjadi manusia yang dapat
mengoptimalkan potensi insani dirinya. Sebaliknya, bangsa yang memiliki kebudayaan
demikian adiluhung jutru dikerdilkan oleh imperalisme, menjadi bangsa yang secara
sinis disebut sebagai inlander.
Salah satu kondisi yang membuat kondisi bangsa Indonesia demikian buruk
digerogoti imperialisme adalah karena rendahnya pendidikan. Ketika menyampaikan
pembelaan dalam Indonesia Menggugat Sukarno dengan jeli memaparkan hubungan
imperialisme dan pendidikan. Menurutnya, kemundurkan akal budi yang dialami bangsa
Indonesia adalah bagian dari proses imperialisme. Untuk kepentingan dagang dan
politik, imperalis memandang bangsa Indonesia sebagai objek yang dapat mendatangkan
kapital. Kedudukannya sebagai manusia disimplifikasi secara ekstrim sebagai komoditas
yang dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi. Oleh karena itu, imperialis menjaga
agar tenaga kerja tetap murah agar dapat digunakan menggerakan industry imperialis
dengan bayaran rendah. Bahkan sekalipun kemudian Belanda menetapkan politik etis
dengan menyelenggarakan pendidikan bagi bumiputra, pendidikan tersebut dikerangkai
motif imperial menjadikan bumiputra sebagai mesin birokrasi untuk melanggekangkan
imperialisme.
“… semua perusahaan yang butuh akan kaum buruh murah, akan penyewaan
tanah murah, akan kebutuhan kebutuhan rakyat yang murah. Untuk kemurahan hal-
hal ini, maka rakyat kami dibikin rakyat yang “hidup kecil” dan “nrima”, rendah
pengetahuannya, lembek kemaluannya, sedikit nafsu-nafsunya, padam kegagahannya,–
rakyat “kambing” yang bodoh dan mati energinya!” Lalu ia melanjutkan, agar tetap
kecil, rakyat dibentuk mentalitasnya agar tetap “nrima yang harus menurut saja!”
Bung Karno menempatkan pendidikan tidak bisa dilepaskan dari bingkai politik
dan ekonomi. Dengan demikian, persoalan pendidikan juga harus dipandang sebagai
persoalan struktural yang terkait dengan keduanya. Cara pandang kritis demikian
sedikit banyak dipengaruhi bacaan-bacaannya, termasuk Marx, dimana hubungan
industri menjadi salah satu sentral hubungan manusia, membentuk struktur sosial yang