Page 178 - Membumikan Ide dan Gagasan Soekarno-Hatta
P. 178
Forum Rektor Penguat Karakter Bangsa (FRPKB) Membumikan Ide dan Gagasan Soekarno-Hatta
Analogi yang populer itu muncul ketika Bung Karno menyampaikan pandangan
160 161
dalam Pidato BPUPKI pada 1 Juni 1945. Kecerdasan linguistik Bung Karno membuat
ia memilih analogi sebagai gaya retoris agar gagasanya bukan saja dipahami tetapi juga
diterima oleh pendengarnya. Dengan menganalogikannya sebagai “jembatan emas”,
Bung Karno sedang menggambarkan kesempatan yang sangat berharga, yang satu mili
detik pun tidak boleh dilepaskan.
Di bagian sebelumnya telah dipaparkan pandangan Sukarno bahwa pendidikan
adalah bagian tak terpisahkan dalam perjuangan kemerdekaan. Dalam konteks
pembahasan tersebut pendidikan adalah bagian dari titian yang dibangun bangsa
Indonesia untuk mewujudkan jembatan emas kemerdekaan. Ketika sebuah bangsa telah
merdeka, pendidikan tidak lagi menjadi titian melainkan daya-kekuatan yang membuat
cita-cita kemerdekaan dapat diwujudkan.
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa bangsa
Indonesia memiliki empat tujuan nasional yaitu (1) melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2) memajukan kesejahteraan umum;
(3) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Frasa “mencerdaskan
kehidupan bangsa” sebagai salah satu tujuan nasional menunjukkan bahwa mewujudkan
bangsa yang cerdas adalah upaya terus-menerus sejauh keberadaan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Komitmen bangsa Indonesia untuk mewujudkan cita-cita nasional tersebut
diwujudkan dalam berbagai kebijakan. Presiden Sukarno yang terpilih sebagai presiden
pada 18 Agustus 1945 menjadi pelopor dalam melahirkan aneka kebijakan pendidikan.
Salah satu kebijakan penting tersebut adalah mendirikan Kementerian Pengajaran
dan mengangkat Ki Hajar Dewantara sebagai menterinya. Pengangkatan Ki Hajar
merupakan kebijakan ideologis yang menunjukkan Presiden Sukarno memiliki halian
ideologi pendidikan yang sejalan dengan Pendiri Taman Siswa tersebut. Sukarno
memandang Taman Siswa sebagai perguruan nasional dan memiliki corak ideologi kuat
sesuai cita-cita kemerdekaan Indonesia.
Pandangan Ki Hajar Dewantara tentang politik pendidikan memang cenderung
sejalan dengan Presiden Sukarno. Kedua tokoh ini memandang kemerdekaan sebagai
sesuatu yang multidimensional, terkait dengan politik, kebudayaan, dan pemikiran.
Tujuan pendidikan adalah “memerdekakan manusia secara lahir dan batin. Merdeka
berarti mampu berdiri sendiri, tidak bergantung pada orang lain, dan dapat mengatur
dirinya sendiri.” Kedua tokoh memiliki resistensi yang sama terhadap kolonialisme.
Perguruan Taman Siswa yang didirikan Ki Hajar merupakan bentuk resistensi kultural.
Baik Ki Hajar maupun Sukarno memandang pendidikan memiliki implikasi
politik yang luas bagi bangsa Indonesia. Ki Hajar yang awalnya mengerahkan energi
dalam kerja-kerja diplomasi praktik beralih berjuang melalui pendidikan. Peralihan itu
menurut Wiryopranoto, dkk (2017) memiliki sejumlah latar belakang antara lain bahwa
untuk mencapai kesadaran, semangat emansipasi, tekad persatuan, kesejahteraan,
dan kemerdekaan, bangsa Indonesia harus terlebih dahulu dibekali pendidikan kritis.