Page 237 - Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi Untuk Mewujudkan Smart City
P. 237

dikonsumsi. Apabila air dengan kandungan bahan kimia yang berlebih
               tetap  dikonsumsi  akan  menimbulkan  gejala  keracunan  yang  akan
               nampak setelah bertahun-tahun mengonsumsinya.

               Air Bersih di Indonesia
                   Dalam kondisi alami, sebagian besar air hujan meresap ke dalam
               tanah sehingga hanya sebagian kecil yang mengalir langsung ke dalam
               sungai.  Semakin  banyaknya  pendirian  bangunan, berdampak pada
               berkurangnya jumlah air yang mengalir melalui bawah tanah. Kondisi
               ini diperburuk oleh pengambilan air melalui sumur-sumur yang lebih
               dalam karena persaingan untuk mendapatkan sumber air (Whitten,
               Soeriaatmadja,  &  Afiff,  1999).  Banyak  faktor  yang  mempengaruhi
               ketersediaan  daya  air.  Penyebab  permasalahannya  adalah  terkait
               penyimpanan dan distribusinya ke daerah-daerah kota atau pinggiran
               kota. Menurut UNESCO (1978) dalam Engineer Weekly (2016), volume
               total air dunia sebesar ± 1,8 milyar kilometer kubik, dan sekitar 11 juta
               meter  kubik  air  tawar  berada  di  permukaan  dan  dalam  tanah.
               Diketahui pula bahwa jumlah air tawar kira-kira hanya 2,6% air di bumi
               dan hampir semuanya tertahan sebagai salju, glasier, dan air tanah.
               Hanya 0,007% berada di danau, 0,005% di dalam tanah yang lembab,
               dan 0,0001% di dalam sungai (Whitten, Soeriaatmadja, & Afiff, 1999).
               Pada  tahun  2000,  data  dari  Badan  Pengkajian  dan  Penerapan
               Teknologi  (BPPT)  melaporkan  bahwa  ketersediaan  air  permukaan
               hanya cukup untuk memenuhi sekitar 23% kebutuhan penduduk.
                   Terkait air bersih, saat ini dilaporkan bahwa jumlah air bersih di
               dunia hanya 1% yang dapat dikonsumsi dan tidak semuanya dapat
               diakses dengan mudah oleh masyarakat. Organisasi kesehatan dunia
               menemukan bahwa di tahun 2015, terdapat 663 juta penduduk masih
               kesulitan  dalam  mengakses  air  bersih  (Rochmi,  2016).  Bahkan
               diramalkan  pada  tahun  2025  nanti  hampir  dua  pertiga  penduduk
               dunia akan tinggal di daerah-daerah yang mengalami kekurangan air
               (Unesco, 2017). Kondisi inilah mengapa disebut bahwa dunia saat ini
               mengalami krisis air bersih, termasuk Indonesia. Bahkan kondisi defisit
               air  bersih  sudah  dilaporkan  di  Jawa  dan  Bali  sejak  tahun  1995
               (Whitten,  Soeriaatmadja,  &  Afiff,  1999).  Status  krisis  air  bersih  ini
               didasarkan  pada  kajian  bahwa  jumlah  sungai  yang mengalirkan air

                               Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City    221
   232   233   234   235   236   237   238   239   240   241   242