Page 92 - Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh (Di dedikasikan kepada DR. Setijadi, M.A)
P. 92
Kasus Universitas Terbuka (UT) dan SLTP Terbuka adalah contoh yang
jelas. Mahasiswa UT yang kebanyakan sudah bekerja tidak mungkin
mengikuti pendidikan tatap muka. Mereka cukup belajar di tempat masing-
masing dan pada waktu tertentu datang ke tempat tutorial yang relatif ti-
dak jauh dari tempat tinggal mereka. Demikian juga anak SLTP Terbuka
tidak mungkin mengikuti SLTP biasa karena pada jam-jam sekolah biasa
mereka harus bekerja mencari nafkah atau membantu orangtua. Hambat-
an ini ditambah dengan tidak tersedianya SLTP biasa di sekitar tempat
tinggal mereka. Kalau mau sekolah di SLTP mereka harus pergi ke
kecamatan atau tempat lain yang jaraknya cukup jauh sementara sarana
transportasi belum tentu ada. Kalau toh ada orangtua mereka tidak mampu
menyekolahkan anaknya ke sana karena tidak mampu membayar biaya
sekolah serta tansportasi setiap hari.
Pada waktu peresmian Wajib Belajar Dikdas 9 Tahun (1994) diharap-
kan kita dapat menuntaskan pelaksanaan kebijakan tersebut dalam waktu
15 tahun (2008/2009). Namun dengan akan diberlakukannya kesepakatan
AFTA pada tahun 2003/2004 pemerintah kita ingin agar seluruh anak In-
donesia pada waktu tersebut telah memiliki pendidikan dasar minimal 9
tahun sehingga bangsa kita akan lebih mampu bersaing dengan bangsa
lain. Percepatan waktu dari 15 tahun ke 10 tahun jelas membawa
konsekuensi pada pelaksanaan pendidik-an dasar. Pemerintah tidak mampu
dari segi dana dan waktu untuk memberikan pendidikan dasar secara
konvensional kepada sekitar 13,2 juta anak usia SLTP di Indonesia.
Kemampuan membangun gedung sekolah dan menyediakan (serta
menggaji) guru juga terbatas. Oleh karena itulah diharapkan SLTP Terbuka
dapat ikut mensukseskan upaya Wajib Belajar Dikdas tersebut dengan
menampung sekitar 2,25 juta anak.
Pertimbangan lain orang memilih PTJJ adalah karena keluwesannya.
PTJJ dapat dibuka dan kalau perlu ditutup dalam waktu yang relatif ce-
85