Page 266 - Cakrawala Pendidikan
P. 266
J.G.A.K. Wardani
Di Indonesia, pelayanan khusus yang disebut sebagai pendidikan
luar biasa (PLB) dapat ditelusuri keberadaannya mulai tahun 1901,
ketika lnstitut untuk Tuna Netra didirikan di Bandung. Awal yang
memberi harapan bagi para penyandang kelainan ini diikuti dengan
pendirian Sekolah Luar Biasa untuk tunagrahita pada tahun 1927 di
kota yang sama, yaitu Bandung (Amin, 1985). Sejak itu, perhatian
kepada pendidikan anak berkelainan mulai bergema. Dengan
' diproklamasikannya kemerdekaan pada 17 Agustus 1945,
pelayanan untuk anak berkelainan mendapat perhatian yang lebih
meningkat. Hal ini sejalan dengan Pasal 31 UUD 1945 yang
menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat
pendidikan. Sekolah-sekolah luar biasa mulai bermunculan, baik di
Jawa maupun di luar Jawa. Sebagian besar sekolah ini dikelola
oleh yayasan dan hanya sebagian kecil yang merupakan sekolah
negeri. Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 1991 tentang
pendidikan luar biasa yang merupakan pedoman untuk
menyelenggarakan PLB menetapkan bahwa setiap anak berhak
mendapat pendidikan sesuai dengan kelainan yang disandangnya.
Sehubungan dengan itu, Sekolah Luar Biasa (SLB) dibedakan
menjadi SLB-A (untuk anak tunanetra), SLB-B (untuk anak
tunarungu-wicara), SLB-C (untuk anak tunagrahita ringan dan
sedang), SLB-D (untuk anak tunadaksa), dan SLB-E {untuk anak
tuna laras). Di samping itu disediakan pula SLB-G untuk
penyandang kelainan ganda. Sebagai tindak lanjut dari peraturan
tersebut, pemerintah mendirikan sejumlah sekolah negeri untuk
anak berkelainan, dan sementara itu, pihak swasta juga tidak
tinggal diam, sehingga jumlah sekolah untuk anak berkelainan
terus meningkat. Data dari Direktorat Pendidikan Dasar
menunjukkan adanya kenaikan jumlah sekolah negeri maupun
swasta dalam lima tahun terakhir, sebagaimana yang terlihat dalam
Tabel 1 berikut ini.
256