Page 106 - Cakrawala Pendidikan
P. 106
Atwi dkk
tumbuhnya kesadaran akan perbedaan karakteristik dan perilaku
siswa secara individu, bahwa setiap siswa memiliki perbedaan
dalam kebutuhan belajar, minat, tujuan, kemampuan, pengetahuan
awal, dll. Oleh karena itu, proses instruksional harus didesain
berdasarkan kebutuhan dan minat masing-masing siswa
(personalized and individualized). Sementara itu, teknologi baru
mempengaruhi desain instruksional dalam dua hal, sebagai tutor
dan alat bagi siswa, dan sebagai alat bagi ahli desain instruksional.
Sebagai tutor, teknologi menawarkan kemampuan interaktif untuk
membantu siswa belajar secara mandiri. Multimedia, sistem ahli
(expert systems), artificial intelligence, computer-based instruction,
dan proses instruksional maya (virtual reality) adalah contoh dari
pemanfaatan teknologi sebagai tutor.
Paradigma konstruktivisme menawarkan strategi instruksional
yang praktis yang dapat digunakan oleh ahli desain instruksional
maupun praktisi pendidikan. Strategi-strategi ini sedemikian rupa
telah mengubah citra proses instruksional pada era globalisasi ini.
Yang paling menarik, ragam strategi yang ditawarkan tidak hanya
meliputi strategi yang umum atau generik saja, tetapi juga strategi
khusus untuk menstimulasi proses belajar tingkat tinggi atau
higher-order learning (strategi kognitif). Prinsip utama dari
paradigma konstruktivisme adalah kepercayaan bahwa setiap
siswa mengkonstruksi (membangun) sendiri khasanah
pengetahuannya, sehingga proses instruksional harus mendorong
partisipasi siswa yang aktif untuk membangun khasanahnya, serta
pengalaman belajar perlu bersifat otentik yang dapat memperkaya
khasanah siswa. Dalam membangun khasanah pengetahuannya,
siswa, secara individu, belajar membentuk makna dari pengalaman
belaJar dan pengetahuan yang dipelajari.
Sementara itu, aliran minimalis yang mempengaruhi desain
instruksional percaya bahwa proses instruksional seharusnya
bersifat menyajikan apa yang perlu dipelajari untuk melakukan
sesuatu ("what they need to learn in order to do what they wish to
do"). Prinsip ini sangat tepat dalam perancangan pelatihan, yang
mengharuskan peserta tidak diberikan hal-hal yang tidak
diperlukan untuk pekerjaannya. Dalam dunia manajemen, prinsip
ini sangat mirip dengan prinsip "just-in-time" training. Dengan
96