Page 58 - Institusi Pendidikan Tinggi Di Era Digital: Pemikiran, Permodelan, Dan Praktik Baik
P. 58
Institusi Pendidikan Tinggi di Era Digital: Pemikiran, Permodelan dan Praktek Baik 45
Good University Governance Dan Kinerja
Perguruan Tinggi
Ali Muktiyanto
PENDAHULUAN
Merujuk pada Muktiyanto (2016), praktik governance Perguruan Tinggi
(PT) di Indonesia hingga akhir 2014 menghadapi sejumlah permasalahan.
Pada Mei 2014, dari Total 4.440 PT yang ada, 576 PT sedang dalam
pengawasan dan 103 PT diantaranya akhirnya harus ditutup. Dari 163 PT
yang diakreditasi, hanya 21 PT yang mendapatkan akreditasi A, 68 PT
mendapatkan akreditasi B, dan 74 PT mendapat akreditasi C. Hingga
Desember 2014, dari 22.306 Program Studi, 546 Program Studi yang harus
ditutup karena tidak terdaftar, danbaru 16.98% yang terakreditasi.
Berkenaan dengan kualitas dosen, dari 192.917 dosen, 20,18% belum
memiliki gelar minimum magister, 38,28% tidak memiliki jabatan akademik,
dan hanya 2,38% yang bergelar profesor. Dari seluruh dosen yang ada,
hanya 43,24% yang bersertifikat. Permasalahan lain PT yang muncul antara
lain konflik internal antara para pemangku kepentingan, kualitas dosen yang
rendah, rasio dosen dan mahasiswa yang belum ideal, Program Studi ilegal,
dan penerbitan ijazah palsu.(sumber:forlap.ristekdikti.go.id/;http://ban-
pt.kemdiknas.go.id/hasil_aipt.php.diakses 14 Juni 2016).
Salah satu elemen penting dari reformasi PT adalah University
Governance (UG), sering disebut Good University Governance (GUG) untuk
"best practices"-nya. GUG dianggap sebagai elemen penting PT untuk dapat
mengantisipasi, mendesain, melaksanakan, memantau, dan menilai
efektivitas dan efisiensi kebijakan (Henard dan Mitterle, 2010). Tujuan GUG
adalah untuk mengakomodasi internasionalisasi PT, meningkatkan daya
saing, kualitas proses pembelajaran, kualitas manajemen internal, dan untuk
mencapai kinerja yang diharapkan (Henard dan Mitterle, 2010; Salmi, 2009).
Selain yang telah dikemukakan di awal, hingga kini masalah yang sering
muncul dalam UG, terutama di PTN, antara lain birokrasi yang kaku, unit
strategis yang kurang visioner, PNBP yang bermasalah, sentralisasi yang
berlebihan, ketergantungan pada dana pemerintah, tata kelola keuangan
yang kaku dan layanan yang kurang memuaskan (Sumarni, 2009;
Anggriawan dan Nurkholis, 2014). Pada sisi lain, pengelolaan PTS harus