Page 107 - 31 Tahun Universitas Terbuka Melayani Bangsa : Potret Keragaman Mahasiswa UT Sebagai Pagar Bangsa
P. 107
Pantang Menyerah Menggapai Impian
sering bertanya buku apa yang sedang saya baca,” terpendam. Ia sering mengarang lagu sendiri,
kata pria kelahiran Tegal 20 Januari 1960 ini sambil khususnya lagu dangdut. Bahkan pada era 1980-an
tersenyum. Ia juga kadang-kadang membaca ia pernah menawarkan hasil karyanya ke produser
modul di rumah. Menurutnya, dengan kuliah di UT musik di daerah Glodok Jakarta. Sayangnya belum
ia diajarkan untuk berlatih disiplin dan mempunyai ada produser yang berminat. Justru ia kaget
kemandirian membaca modul. Ia yakin jika ingin setelah muncul satu lagu dangdut yang menjadi
mendapat IPK yang tinggi di UT, harus tekun dan hits dan ternyata mirip lagu karangannya. “Bagi
punya niat yang kuat. Salah satu upaya yang ia saya hidup ini seperti karya puisi Chairil Anwar
tunjukkan adalah dengan meminta diajarkan yakni ‘sekali berarti sudah itu mati.’ Artinya, saya
temannya untuk mengakses tuton di sekolah ingin hidup saya ini memberikan arti bagi orang
ataupun di warnet. Ini karena ia tidak memiliki lain,” kata anak ke-9 dari 10 bersaudara ini.
laptop. Suatu saat ia bercita-cita dapat memiliki
laptop untuk menunjang kebutuhan belajarnya.
Sayangnya penghasilan yang ia peroleh selama ini
hanya cukup untuk menghidupi keluarganya. Dari
pekerjaan sebagai tenaga honorer di MTs Salafiyah
Desa Selarang Kidul Kecamatan Lebaksiu, Tegal ia
memperoleh gaji sebesar Rp 450.000 per bulan.
Ditambah dari penghasilan menarik becak yang
tidak menentu, rata-rata ia memperoleh 20-30
ribu sdalam sehari. Sementara istri tercinta Jamroh
hanyalah seorang buruh tani. Ia pun berharap ke
depannya UT dapat menyediakan modul secara
gratis bagi mahasiswa.
Di balik kesederhanaannya, ayah dari Evi Yuliani
sekaligus kakek dua cucu ini mempunyai bakat
31 Tahun Universitas Terbuka Melayani Bangsa : Potret Keragaman Mahasiswa UT Sebagai Pagar Bangsa 101