Page 219 - Membumikan Ide dan Gagasan Soekarno-Hatta
P. 219
Forum Rektor Penguat Karakter Bangsa (FRPKB) Membumikan Ide dan Gagasan Soekarno-Hatta
terjadi, dengan adanya Dekrit 5 Juli 1959. Soekarno menjadi presiden dan perdana
202 203
menteri dan Indonesia memasuki era demokrasi terpimpin. Hal ini juga dilatarbelakangi
oleh Mundurnya Muhammad Hatta pada tahun 1956 dan belum selesainya penyusunan
konstitusi oleh Konstituante, yang berlangsung dari tanggal 10 November 1956 hingga
tahun 1958, menyebabkan kekuasaan penuh pada Soekarno (Wibisono, 2015: 10).
5. Diplomasi Koersif
Diplomasi koersif dilakukan antara lain dengan penggunaan kekuatan militer
untuk mengancam dengan tujuan menakut-nakuti target dan memenangkan pertikaian
(Christian Le Mière, 2014). Kurang lebih 12 tahun berlalu setelah Indonesia mengikrarkan
diri sebagai negara yang memiliki pandangan politik luar negeri bebas aktif, politik luar
negeri Soekarno mulai ia arahkan ke kiri, dan hal ini memunculkan kecemburuan dari
pihak barat. Pada awal-awal Demokrasi Terpimpin, pola PKI dan politik luar negeri
Indonesia selalu saling terkait, misalnya didukung dari dan mendukung negara-negara
Afro-Asia, kerjasama dengan Republik Rakyat Cina, Kuba, Uni Soviet, Jerman Timur
dan Korea Utara semua diidentifikasi sebagai bagian dari Blok Timur (Nugroho, 2016:
130).
Politik Indonesia, baik domestik maupun internasional, mengalami perubahan
mendasar. Demokrasi liberal melalui sistem parlementer yang dijiwai diplomasi dan
negosiasi untuk mencari solusi permasalahan Indonesia berubah menjadi Demokrasi
Terpimpin yang dipimpin langsung oleh Soekarno. Perubahan sistem politik mengubah
orientasi dan peta jalan diplomasi Indonesia menjadi lebih radikal dan revolusioner
(Sukma, 1995: 309). Pada era ini, Soekarno menyampaikan sikap konfrontatif dan
diplomasi koersif dalam upaya pembebasan Irian Barat dari penjajahan Belanda. Pada
sidang tahunan Majelis Umum PBB tahun 1960, Soekarno menegaskan bahwa toleransi
Indonesia terhadap Irian Barat hampir berakhir dan kegagalan PBB digambarkan
sebagai produk dari sistem Barat yang sama yang juga melahirkan imperialisme. Bahkan
Soekarno juga mengusulkan agar Markas Besar PBB dipindahkan, bukan di New York,
melainkan ke salah satu negara di Asia atau Afrika atau Jenewa (Leifer, 1989: 84-85).
Eskalasi konfrontasi Indonesia dengan Belanda atas Irian Barat meningkat seiring
dengan pasokan peralatan militer dari negara-negara Blok Timur khususnya Uni Soviet.
Kesiapan Indonesia untuk melakukan invasi militer skala penuh pada akhirnya berperan
dalam ‘memaksa’ Amerika Serikat (AS) melalui Presiden Kennedy dengan menyerukan
diakhirinya penggunaan kekuatan terhadap Indonesia dan Belanda. Perubahan posisi
AS yang memihak Indonesia dalam status Irian Barat bertujuan untuk membendung
komunisme. Dengan penyerahan Irian Barat kepada Indonesia, seperti yang pernah
dikatakan Soekarno kepada Duta Besar AS, “jika Amerika Serikat mengubah posisinya
atas Irian Barat, ia akan menyingkirkan kaum komunis” (Leifer, 1989: 96-105).
Diplomasi koersif berlanjut lagi dan kali ini melawan AS. Baskara T. Wardaya,
dalam bukunya “Indonesia Against America: Cold War Conflict, 1953-1963”,
mengungkapkan beberapa fakta, Soekarno mengambil sikap konfrontasi bahkan